Di
pagi hari yang cerah,aku sedang bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Ku rapihkan
pakaianku dan ku periksa kembali buku-buku yang akan aku bawa. Dari lantai
bawah terdengar suara wanita sekitar berumur 40 tahun memanggilku,tak lain itu adalah
Ibuku.
Ibu : “Din,cepat sarapan dulu,biar
enggak telat ke sekolahnya”, sahut ibuku.
Dini : “Iya bu,ini udah beres”,
jawabku.
Setelah
semua selesai,aku turun kebawah menghampiri meja makan yang sudah tersedia
makanan yang telah dibuatkan ibuku. Ku habiskan nasi goreng yang ada di
depanku. Setelah selesai aku segera memakai sepatu dan pergi sekolah bersama
ayahku.
Dini : “Bu,Dini pergi dulu
ya”,pamitku kepada ibuku.
(Di
ikuti dengan mencium tangan ibu)
Ibu : “Iya hati-hati nak,langsung
pulang ya”,pesan ibuku.
Dini :
“Siap bu,oh iya hampir lupa,itu obat Ibu udah Dini siapin,ada di kotak obat,jangan lupa Ibu minum ya”,ujarku
seperti menasehati.
Ibu : “Iya nak,ayo cepat Ayahmu
sudah nunggu di depan”.
Dini : “Assalamu’alaikum”,salamku.
Ibu : “Walaikum’salam”,jawabnya.
(Dengan senyum mengembang di bibirnya)
Aku
pergi dengan senyuman ibuku yang dia perlihatkan padaku,bukti penyemangat
untukku meraih cita-citaku. Aku di antar oleh ayahku memakai kendaraan motor.
Ada sekitar 20 menit aku sampai di sekolahku. Aku turun dari motor.
Dini : “Yah dini masuk dulu
ya”,kataku.
Ayah : “Iya,yang rajin
belajarnya”,pesan ayah.
Dini : “Siap
ayah,Assalamu’alaikum”,salamku.
(Sambil ku cium tangan ayahku)
Ayah : “Walaikum’salam”,jawabnya.
Ayahku
pergi bekerja dan aku pun harus segera masuk karena bel sekolah tanda masuk pun
telah berbunyi. Aku sekolah di SMP Negeri 35 Bandung kelas 7F. Aku segera masuk
ke kelas dan duduk di bangkuku seperti biasa di temani sahabatku.
Dini :
“Hai ver,tumben enggak kesiangan”,godaku karena sahabatku ini sering datang
kesiangan.
Vera : “Enggak dong,kan udah coba
bangun pagi”,jawabnya.
Berhubung
ini hari jumat,hanya ada 3 pelajaran,tetepi pelajaran pertama dan kedua gurunya
tidak masuk di karenakan izin,bel istirahat pun berbunyi,aku dan sahabatku
pergi keluar kelas menuju kantin.
Tiba
di kantin dan kita langsung memesan makanan favorit yaitu nasi kuning di tambah
dengan teh manis. Kita duduk di pojok kantin.
Vera : “Din,udah ini pelajaran BK
ya?”,tanyanya.
Dini : “Iya,kenapa gitu
ver?”,tanyaku kembali.
Vera :
“Kata Bu Nina,dia mau ceritain tentang pentingnya Ibu di hidup kita,pasti seru
deh ceritanya”,jawabnya dengan semangat.
Tak
lama makanan pun datang dan langsung saja memakannya. 15 menit kemudian bel
masuk pun berbunyi,tepat dengan selesainya kami makan. Lalu kami segera kembali
ke kelas,dan ternyata Ibu Nina sudah ada,kami pun di persilahkan duduk.
Ibu Nina :
“Ibu minggu lalu pernah bilang sama Vera kalau hari ini kita mau bahas tentang
pentingnya Ibu di kehidupan kita”.
“Ada
yang tahu kenapa Ibu sangat penting di kehidupan kita?”,tanyanya.
(Taufik mengacungkan
tangan)
Taufik : “Karena Ibu adalah orang yang
melahirkan kita”,jawabnya.
(Laras pun mengacungkan
tangan)
Laras :
“Karena Ibu adalah orang yang paling berjasa di hidup kita,Ibu yang sudah
mengandung kita selama 9 bulan 10 hari dan itu butuh perjuangan yang sangat
besar”,jawabnya panjang.
Ibu Nina :
“Iya jawaban kalian benar,Ibu tambahkan ya,jadi Ibu itu seseorang yang patut
kita sayangi,kita hargai,kita rawat,kita cintai,karena begitu besar
jasanya,jangan pernah membuat Ibu kalian menangis karena kalian,jaga dia,dan
jika Ibu kalian meninggalkan kalian,hidup kalian akan begitu hampa
tanpanya,maka dari itu jaga Ibu kalian,bila perlu minta maaf dari sekarang
sebelum Ibumu di cabut nyawanya oleh yang Maha Kuasa”,ujarnya panjang.
Aku
termenung dengan apa yang diucapkan oleh Bu Nina,apalagi saat bagian jika Ibu
meninggalkanku,seketika aku takut dan aku tak ingin kehilangan Ibuku.
Bel
selesai sekolah pun berbunyi dan aku pulang dengan berjalan kaki sambil masih
memikirkan perkataan dari Bu Nina.
Sekitar 30 menit ku
berjalan,aku sampai di rumah.
Dini : “Assalamu’alaikum”,salamku.
Ibu : “Walaikum’salam”,jawabnya dengan senyuman yang
membuatku tenang.
Aku
segera ke kamar mengganti pakaianku dan membantu Ibuku yang sedang memasak di
dapur.
Ibu : “Din,bantu Ibu ya siapin
makanan,sebentar lagi Ayahmu pulang”,suruhnya.
Dini : “Siap Ibuku”.
Aku
membantu Ibuku memasak ikan goreng. Aku melihat gelas plastik berwarna pink
yang sedang di pegang Ibuku yang berisi air yang sedang ia minum. Gelas itu di
simpan dan aku melihat isi gelas itu,ternyata air putih. Lega rasanya.
Dini : “Bu,udah di minum
obatnya?”,tanyaku.
Ibu : “Udah kok nak”,jawabnya.
Aku
sangat merasa haus,lalu aku mengambil minuman kaleng di dalam kulkas,karena
kemarin aku dapat bingkisan makanan dan minuman kaleng. Di kulkas banyak
minuman soda,tapi aku pilih minuman teh. Ku hampiri Ibuku yang sedang duduk di
lantai ruang keluarga.
Ibu : “Din,Ibu mau dong minumannya!”,pintanya.
Dini : “Jangan Bu,ini dingin
minumannya”,larangku.
Ibu : “Itu kan teh bukan minuman
soda,enggak apa-apa kan?”,mohonnya.
Aku
berpikir sejenak,benar juga apa kata Ibuku,mungkin tidak apa-apa karena ini
teh,tidak berbahaya. Jadi ku izinkan Ibuku meminum minumanku.
Dini : “Tapi jangan
banyak-banyak,bu!”,kataku.
Ibu : “Iya”,jawabnya pendek.
Ibuku
meminum minumanku,aku segera menahan Ibuku untuk tidak banyak-banyak meminum
minumanku.
Setelah
Ibuku minum,aku pergi ke kamarku untuk mengerjakan tugas. Baru ku melangkah
sampai tangga,terdengar suara benturan,seperti orang terbentur ke
tembok,seketika ku ingat Ibuku. Aku kembali ke ruang keluarga dan ternyata
Ibuku sudah terbaring tak sadarkan diri tergeletak di lantai.
Dini : “Bu,bangun
bu,bangun!”,teriakku panik sembari ku goyangkan badan Ibuku.
Tapi
Ibuku tak kunjung bangun,tiba-tiba keluar busa berdarah dari mulutnya dan itu
membuatku semakin panik. Dalam keadaan panik,aku mencoba menelpon Ayahku,dengan
gemetar ku tekan angka demi angka,dan “pulsa Anda tidak cukup untuk melakukan
panggilan ini”. Sial! Lalu aku tinggalkan Ibuku sebentar dan aku berlari keluar
ke warung telepon untuk menghubungi Kakak pertamaku Kak Tia.
Aku
berlari secepat-cepatnya menuju warung telepon dengan mata bercucuran air mata.
Para tetangga memanggilku,tapi tidak aku hiraukan. Sesampainya di warung
telepon,ku tekan nomer telepon rumah Kakakku,dan ternyata terhubung.
Dini :
“Kak,Ibu Kak,Ibu pingsan,di mulutnya keluar busa berdarah,Ayah belum pulang,Dini
panik Kak enggak tahu mesti ngapain”,ujarku dengan suara gemetar.
Tidak
ada jawaban dari Kakakku,tapi terdengar suara dari belakang yang menyerukan
“Bangun Tia,bangun”, aku berpikir Kakakku pingsan. Lalu ku matikan teleponku
dan kembali berlari menuju rumahku.
Sesampainya
di rumah,ternyata di rumahku sudah ramai oleh para tetanggaku yang sedang
mencoba menyadarkan Ibuku. Salah satu tetanggaku bertanya padaku.
Ibu Yayah : “Din,kenapa Ibumu bisa
pingsan?”,tanyanya.
Dini : “Dini juga enggak tahu bu,tiba-tiba
saja Ibu udah pingsan”,jawabku.
Ibu Yayah : “Ayahmu mana? Dia sudah
tahu?”,tanyanya kembali.
Dini : “Belum pulang dan belum tahu
juga,bu”,jawabku.
Ibu Yayah : “Nomer Ayahmu berapa,biar Ibu telepon
suruh bawa ambulan”,sarannya.
Dini : “08157097418”,ujarku.
Di
teleponlah Ayahku oleh Bu Yayah untuk menyuruh memanggil ambulan. Sekitar 30
menit,Ayahku datang dengan membawa ambulan panggilannya. Ibuku di angkat menuju
mobil ambulan,aku berdua di dalam ambulan bersama suster yang mengecek keadaan
Ibuku. Ayahku memakai motor pergi terlebuh dahulu ke rumah sakit.
Sesampainya
di rumah sakit,para medis dengan sigap membawa Ibuku ke UGD dan dokter pun
menyuruhku tunggu di luar.
Aku
menunggu di ruang tunggu berdua dengan Ayahku,berharap kabar baik tentang
keadaan Ibuku. Sekitar 45 menit dokter menangani Ibuku,dia keluar dengan raut
wajah bertanda tidak baik.
Ayah : “Dok,bagaimana keadaan istri
saya?”,tanya ayahku cemas.
Dokter : “Maaf pak,istri bapak tidak bisa
tertolong”,jawabnya dengan penuh penyesalan.
Ayahku
seperti terdorong ke belakang,tak percaya dengan apa yang di katakan dokter.
Ayahku tak mampu menemui Ibuku,dia pergi keluar ruang UGD,dan aku perlahan
membuka pintu ruang 05 itu.
Ku
lihat sesosok wanita,pucat,lemah,terbaring tanpa nyawa,yaitu Ibuku sendiri. Ku
hampiri dia dan ku peluk Ibuku.
Dini :
”Ibu,kenapa Ibu pergi ninggalin Dini?Dini enggak rela Ibu pergi,Dini enggak
sanggup di tinggalkan oleh Ibu,Dini belum sempat mengucap kata maaf sama
Ibu,Dini gagal jagain Ibu,Ibu bangun!”,teriakku dan air mata terus mengalir di
pipiku.
“Arrrggghhh......”,teriakku.
Bodohnya
aku,aku tak bisa menjaga Ibuku,aku kehilangan orang terpenting dalam hidupku.
Aku tak sanggup kehilangan Ibuku,takkan ada lagi senyuman yang menjadi
penyemangat hari-hariku. Bodoh,bodoh,bodoh!
Tak
lama kemudian Kakakku yang sempat aku telepon datang ke rumah sakit,dia kaget
melihat Ibunya sudah tak bernyawa lagi.
Tia :
“Ibu........”,teriaknya.
Kakakku langsung memeluk
Ibuku.
Tia : “Semua ini salah kamu,kenapa
kamu enggak bisa jaga Ibu dengan baik,dokter udah bilang berapa kali perhatikan kondisi,makanan,minuman yang
masuk ke perut Ibu,kakak benci sama kamu!”,dengan nada tinggi.
“keluar kamu! Kakak enggak mau lihat kamu!”
(dengan tangan menunjuk ke pintu keluar)
Aku
keluar dengan langkah pelan,semua yang di katakan kakakku benar. Aku tak bisa
menjaga Ibu dengan baik,penyakit yang dia derita menyerangnya dan melumpuhkan
nyawanya.
Aku
menemui dokter untuk mengetahui penyebabnya. Di ruang dokter.
Dini : “Dok,kenapa Ibuku bisa
meninggal?”,tanyaku.
Dokter :
“Penyakit jantung Ibumu sudah parah,di tambah paru-paru Ibumu
terendam”,jawabnya.
Dini :
“Kenapa bisa terendam,dok?Ibuku kan tidak punya penyakit paru-paru?”,tanyaku
heran.
Dokter : “Sepertinya Ibumu meminum minuman
soda”,jawabnya singkat.
Aku
terdiam sejenak,setiap hari aku selalu memperhatikan apa saja yang ibuku makan
dan minum. Tak lama aku teringat minuman yang di tuangkan dalam gelas plastik
berwarna pink itu. Sepertinya Ibuku meminum minuman soda dan dia memindahkan
minumannya kedalam gelas plastik berwarna pink itu.
Dini : “terimakasih, dok”.
Aku
keluar dan menemui Ayahku yang sedang duduk lemas di ruang tunggu. Ayahku
meminta pihak rumah sakit mengantarkan jasad Ibuku kerumah duka.
Sesampainya
di rumah,para tetangga membantu mengurusi jasad Ibuku. Pertama kali aku sampai
di rumah,aku segera ke dapur mencari gelas plastik pink itu. Untung saja gelas
itu belum di cuci,dan ku cium aroma dari gelas itu,ternyata aku mengenali aroma
itu,minuman bersoda.
Rasa
penyesalanku semakin besar,karena aku sangat teramat lalai dengan kejadian ini.
Aku tak bisa berhenti untuk menangis. Aku membuat keluargaku menangis
kehilangan orang yang terpenting dalam hidup mereka.
Jasad
ibuku sekarang akan di mandikan,aku ikut untuk memandikannya. Begitu
putih,bersih tubuh ibuku seperti tak ada beban dalam dirinya,tak seperti
awalnya penyakit yang dia derita begitu sangat lama dia tanggung.
Selesai
memandikan,ibuku di pakaikan kain kafan. Aku tak sanggup untuk melihat itu. Tak
lama kakak keduaku ,Yuli datang,dia telat mendapatkan informasi. Dia bingung
sebenarnya apa yang terjadi.
(di depan pintu)
Yuli :
“ada apa ini?itu siapa yang sedang di kain kafani?”,tanyanya dengan wajah
kebingungan.
Ibu Yayah : “yang sabar ya nak,itu Ibumu”,jawabnya
pelan.
(mengelus pundak kakakku)
“tidaaakkkkk..........”,teriak
kakakku dan langsung memeluk Ibu.
“ibu jangan tinggalin
yuli!”,pintanya sembari menangis.
Kakakku melihat ke arahku
yang tepat di sebelah jasad ibuku.
(Paaakkkkkk.....!) tampar
kakakku padaku.
“Semua ini salahmu,kamu
enggak becus urus ibu”,dengan nada tinggi.
Aku
hanya bisa diam,tak bisa ku ucapkan apa penyebab awalnya,aku memang lalai,tapi
itu semua bukan aku yang salah,aku sudah berusaha menjaga ibuku dengan baik.
Ayah : “yuli,kamu enggak boleh tampar
adikmu!”,tegurnya
“semua bukan salah Dini,ini sudah takdir dari
yang Maha Kuasa”,katanya.
Keadaan
sempat hening sejenak,lalu ayah memelukku dan kakak pertama dan kakak keduaku
ikut memeluk kami berdua. Suasana penuh sedih harus berubah menjadi sebuah
ketegaran dalam kehidupan kami kedepannya.
Jasad
ibuku langsung di makamkan di TPU terdekat. Saat ibuku akan di masukan ke liang
lahat,aku mengucapkan kata terakhir untuknya “Bu,maafkan semua
kesalahanku,sampai kapanpun aku takkan pernah bisa lupakanmu,semua yang telah
engkau berikan takkan pernah ku lupakan,semua jasamu takkan pernah bisa ku
gantikan,hanya doa yang bisa aku berikan untukmu menerangi alam kuburmu,ragamu
pergi tapi hatimu tetap menyatu dengan hatiku,kau tetap orang terpenting dalam
hidupku,selamat jalan bu”.
Jasad
ibuku sudah tertimbun tanah,tapi cintanya takkan pernah tertimbun dunia
lain,cinta kita mengalir selalu,sampai ku menutup mata.